Sejarah Desa

Desa Arjosari sebelum menjadi Desa adalah berupa Hutan Belukar, yang oleh orang-orang pada waktu itu di sebut Hutan ‘’Bata Luluh’’ Gunung Kendeng. Bata Luluh letaknya di sepanjang perbatasan antara Kabupaten Malang dengan Kabupaten Blitar. Menurut cerita bahwa Bata Luluh itu dahulu merupakan batas Kerajaan Jenggolo dan Kerajaan Kediri, dan peninggalan ini masih ada sampai sekarang.

Kemudian datanglah Orang-orang dari Jawa Tengah, Mereka berasal dari Daerah Solo(Surakarta), Mataram(Yogyakarta), Wonogiri dan Ponorogo, maksud kedatangan mereka adalah untuk mencari mata pencaharian tetapi Akhirnya menjadi tempat tinggal yang tetap selama-lamanya hingga para keturunannya sampai saat ini.

Pada waktu itu tanah masih banyak mengandung air atau Rawa-rawa denga Hutan Glagah disana sini sehingga mengalami kesulitan jika segera ingin bercocok tanam , karen kesulitan tersebut mereka memilih tempat yang tinggi letaknya (Bahasa Jawa ‘’ Puthuk’an’’), salah satu tempat yang tinggi letaknya ialah Dusun Tumpakmiri sekarang.

Pada tahun 1899 terjadi pembukaan Hutan yang dipimpin oleh Mbah Tirtokromo yang berasal dari Solo dan Mbah Tambuh(Mbah Tukang) yang berasal dari Ponorogo. Disamping Mbah Tirtokromo dan Mbah Tambuh (Mbah Tukang), pembukaan Hutan yang lain adalah Mbah Dremo, Mbah Taudo, Mbah Sorejo, Mbah Wir, Mbah Jakiyah, Mbah Resodikromo. Pada waktu itu membuka Hutan tersebut mereka diberi tindakan oleh pihak yang berwenang (Pemerintah Belanda) dan ditahan selama beberapa hari. Tetapi yang menjalani tahanan ditanggung oleh Mbah Dremo, dan keluarganya diurus oleh rombongan yang lain demi kepentingan Bersama dan rombongan yang lain tetap meneruskan pembukaan Hutan yang sekarang menjadi Dusun Tumpakmiri.

Dinamakan Tumpakmiri, sebab waktu membuka Hutan banyak dijumpai pohon Kemiri yang berada dipuncak (Tumpak) Pegunungan Kendeng, karena itu dinamakan Tumpakmiri dan disinilah perkampungan yang pertama di Desa Arjosari, menurut cerita Orang Tua dahulu di sekitar perkampungan terdapat sawah, jadi pada waktu itu banyak Tanah Persawahan.

Perlu diketahui bahwa di Tumpakmiri dahulu terdapat peninggalan kuno, menurut Narasumber ada dua peninggalan kuno tetapi yang satu tidak diketahui dimana letaknya. Sedangkan yang satu ditemukan di tepi Sumber Mata Air dengan keadaan terbelit akar Pepohonan, kemungkinan itu adalah LINGGA YONI dan hanya tinggal LINGGAnya saja, pada Zaman Hindu Syiwa Lingga Yoni merupakan Simbol pemujaan kepada Leluhur, bentuk Lingga merupakan simbol sebagai laki-laki lambang Dewa Siwa sedangkan Yoni merupakan simbol sebagai Perempuan lambang dari Dewi Parwati. Penemuan pada waktu itu mungkin karena kurangnya pengetahuan pada saat itu sehingga sesuai dengan bentuknya seperti kelamin laki-laki maka mereka menyebutnya sebagai Recha GATHEL. Dengan adanya bukti peninggalan Kuno tersebut kemungkinan dahulu kala pernah dihuni oleh peradaban kuno pada Zaman Kerajaan-kerajaan di Jawa Timur.

Pada Tahun 1917 Mbah Tirtokromo wafat dan dimakamkan di dusun Tumpakmiri, dan pada tahun akhir 1920 Mbah Tukang wafat yang di makamkan di Desa Ngungkung Talun Kabupaten Blitar. Pada tahun 1901 pembukaan hutan dilanjutkan berkembang ke daerah utara yang dipimpin oleh mbah Djojokarto alias Mbah Djojokromo berasal dari Wonogiri (Jawa Tengah) yang sekarang menjadi Dusun Kedungwaru.

Pada tahun 1905 terjadi pula pembukaan Hutan yang Dipimpin oleh Mbah Kyai Pon berasal dari Magetan (Kedu). Menurut kata Narasumber di tempat ini dahulu banyak ditanam Cabai yang bentuknya Kecil-kecil dan disebut Cabai Belis, sehingga tempat ini dinamakan Sumberbelis dan tempat ini terkenal angker dan gawat untuk selanjutnya di kenal nama Sumbertimo karena pada waktu itu banyak ditemui Pohon Timo, yang sekarang sebagai Dusun Krajan.

Dari tahun ke tahun berkembang lagi ke sebelah timur yang dirintis oleh Mbah Prodjojo dan Mbah Nojosemito yang berasal dari Mataram, oleh karena itu tempat ini diberi nama Dusun Mentaraman.     Kemudian untuk memperluas daerah, penduduk Mentaraman membuka Hutan lagi disebelah barat tetapi pada waktu itu harus mengajukan Surat Permohonan atau Rekes ke Pemerintah Belanda, akhirnya pembukaan baru di sebut Rekesan (Sekitar Jeding sekarang). Tetapi nama ini kurang popular (dikenal) di Masyarakat, dan kedua perintis ini wafat di dusun Mentaraman.

Kemudian pembukaan Hutan yang terakhir pada Tahun 1920 yang dipimpin oleh Mbah Citro Sumadi, ia berasal dari anggota kelompok Mbah Djojokarto di Kedungwaru, ia pergi membuka Hutan di wilayah baru, yaitu disekitar Sumber Blandong sekarang. Dikatakan Sumber Blandong sebab pada waktu itu  Mbah Citro membuat Blandong (Padasan) dari kayu dan diletakkan di dekat Sumber Mata Air, itulah riwayat Sumber Blandong. Tempat baru itu di sebut Sidodadi yang sebelumnya bernama Babatan. Nama Sidodadi di samping memang nama Perintisnya Mbah Madi juga mempunyai maksud menjadi Dukuh baru yang perangkatnya sama seperti Dusun-dusun yang lain.

Menurut Narasumber daerah Arjosari ini dulu dibawah Pemerintahan Desa Pangganglele yang sekarang Desa Arjowilangun, yang luas daerahnya sampai di tepi sungai Brantas. Pada waktu itu keadaan jalan masih sulit ditempuh, hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki atau berkuda.

Sampai Tahun 1901 masih bersetatus pedukuhan yang dipimpin oleh Kamituwo(Kepala Dusun) terdiri dari kampung Sumbertimo dan Kedungwaru masih termasuk ke dalam Desa Pangganglele yang sekarang menjadi Desa Arjowilangun. Kamituwo yang pertama adalah Mbah Dremo lalu Pak Pijo selama 2 Tahun, dan diganti oleh Mbah Singowarso (Pak Ti) selama 3 tahun.

Baru pada Tahun 1905 terjadi Pemekaran Baru menjadi Desa Arjowilangun dan Desa Arjosari.